Untuk ke Desa Trunyan kita harus menyeberangi danau Batur dengan menggunakan perahu yang disewakan oleh warga sekitar. Perahu tersebut bisa memuat sampai 7 penumpang dengan biaya sewa sekitar Rp 300.000 - Rp 400.000/ perahu pulang pergi.
Keunikan dari desa ini adalah cara pemakaman jenazahnya, yang masih terjaga dan lestari sampai sekarang. Disini orang yang telah meninggal tidak dikubur dalam tanah seperti di tempat-tempat lain ataupun dibakar seperti pemakaman "ngaben" yang terkenal di pulau Bali ini, namun tubuh seseorang yang telah meninggal tersebut setelah melalui sebuah prosesi dan dibungkus dengan kain kafan, kemudian diletakkan di atas tanah dan di bawah pohon trunyan dan dikelilingi anyaman dari pohon bambu yang disebut ancak saji, begitu saja sangat sederhana, tanpa dikubur dalam tanah. 'ancak saji', anyaman bambu berbentuk segitiga sama kaki. Di sinilah jenazah diletakkan begitu saja, tanpa sedikit pun tercium bau bangkai. Di sekitarnya terdapat benda-benda peninggalan si jenazah: piring, foto berpigura, sapu tangan, baju dan perhiasan. Sedikit mengintip ke dalam 'ancak saji', saya melihat potongan tulang dan tengkorak. Ada pula yang tinggal rambutnya saja.
Namun sobat tak perlu kuatir dengan bau busuk menyengat yang akan ditimbulkan mayat tersebut. Disini tidak tercium bau busuk sedikitpun, adanya bau harum yang keluar dari pohon trunyan tersebut. Trunyan berasal dari dua kata yaitu "taru" yang berarti pohon dan "menyan" yang berarti harum. Jadi pohon ini berfungsi menyerap bau yang tidak sedap yang dikeluarkan oleh jenazah sehingga tidak tercium lagi bau yang tidak sedap itu.
Legendanya dulu, ada 4 bersaudara dari Keraton Surakarta yang terhipnotis wangi Taru Menyan," katanya sambil menunjuk pohon raksasa dengan akar yang menjulur ke segala arah. Taru Menyan adalah asal nama kata 'Trunyan', berarti 'pohon wangi'.
Empat bersaudara itu terdiri dari 3 laki-laki dan si bungsu perempuan. Mereka melintasi Tanah Jawa, kemudian Selat Sunda untuk mencari asal muasal wangi semerbak itu. Singkat cerita, setibanya di Trunyan, sang kakak sulung jatuh cinta kepada sang Dewi penunggu pohon tersebut.
"Sudah direstui semua saudaranya, mereka nikah. Trunyan jadi sebuah kerajaan kecil. Pohon besarnya masih mengeluarkan wangi. Sampai akhirnya, sang Raja memerintahkan warga untuk menghapus wangi itu agar terlindung dari serangan luar. Biar nggak ada lagi yang terhipnotis wanginya,".
Tidak semua jenazah bisa dimakamkan seperti diatas, hanya jenazah yang sudah dewasa dan meninggal secara normal serta tidak cacat yang bisa dimakamkan seperti ini. Untuk jenazah bayi dan meninggal secara tidak normal seperti bunuh diri, dibunuh ataupun kecelakaan dimakamkan di tempat lain.
Memang pemandangan di desa Trunyan ini cukup mengerikan karena disana kita akan melihat secara langsung tengkorak dan tulang - belulang manusia yang diletakkan sedemikian rupa sehingga membuat pemandangan di sekitarnya terlihat seram.
Untuk menuju ke desa Trunyan ini, sobat bisa menempuhnya selama 2 jam perjalanan dari Kota Denpasar menuju gunung Batur di Kintamani. Setelah itu sobat turun menuju ke tepi danau Batur untuk menyeberang dengan perahu yang banyak disewakan disana. Di lokasi gunung Batur ini, banyak pemandu wisata yang menawarkan jasanya untuk memandu pengunjung ke Desa Trunyan, jadi jangan kuatir untuk tidak menemukan tempat ini.