Kamis, 01 Agustus 2013

Bukan Desa Kami – Karya Iman Soleh


Awalnya padi kuning seperti emas
Angin berbintik di daun tebu
Embun mengirim kabar sepotong pantun
dari negeri Bambu yang tanahnya
berlarian di bibir cahaya

Di kampung kami, tanah-tanah diukur
Tetangga-tetangga segera tergusur
Yang protes menjadi bubur
Sejarah pun hilang dikubur
Sawah lagi dikejar laktor
Badannya setinggi pohon kelapa kopyor
Kakinya sebesar pohon mahauni
Tangannya mencabuti jutaan jerami

Tanah gelisah diinjak buldozer
Lumut-lumut semua kelenger
Jalan setapak dicemari besi tua
Melempar jalan kecil dengan jalan raya
Tembakau harganya kacau
Tebu membuat pilu
Nelayan jadi pelayan
Padi bukan lagi milik petani
Melinjo, nangka, dan damar, sabutan gergaji menghilangkan akar
Perhitungan jangan dengan kelakar
Tak ada yang gratis, kecuali lapar

Tiang listrik seperti ladang jagung,
Tembok tebal, kaca hitam, dan ac gedung
Tertata artistik tanaman plastik
Hutan kabur demi pabrik-pabrik
Burung-burung pindahlah sudah
Meninggalkan petani dari pinggiran gudang
Berdoa padi tak lagi pailit, namun cinta abadi berakhir pahit

Seratus mandor mengatur kondominium
Dibuka dengan kesenian oratorium
Seniman, budayawan research supaya konteks
Namun akhirannya selalu rebutan proyek
Otlet-otlet membikin macet
yang kepepet menjadi copet
penghuni gang nyengir, nyinyir
karena hidupnya semakin tersingkir
Nama indah seperti senandung
Mengepung Bandung yang sudah mendung
Kampung dawuh, parahiyangan, regency, katungmidi
Berdiri tak terkordinasi, dilengkapi manis berbagai universiti
Penuh gengsi, namun tak punya visi

Nah, saudara.. dari kontan sampai cicilan kini ada di jalan
SK, bukan lagi surat keputusan berubah menjadi surat kreditan
Motor-mobil pun berseliweran di jalan
Gaji kecil sejumlah alasan, pendapatan cemas tiap bulan
Rumah pun dipertaruhkan, keluarga pun digadaikan demi masa depan
Anak-anak tak lagi ibadah, memilih mall jadi pelepas lelah
Serangi, serabi, rangginang, wajik, dan kue apem diganti
Hokabento, sepagetti, macaroni, teriyaki, dan sushi yang katanya lebih bergengsi

Anak-istri-suami mengering di rumah, televisi tak kenal menyerah
Namun zaman telah berubah, keasingan kini dianggap lumrah
Kini seringlah lupa, jika malam telah lah tiba
Apa benar telah berkeluarga? Sebab hati sulit merasakannya
Bambu air tak ada lagi, semaking pipa diganti besi
Sungai kami tak punya, sumur bor menggantikannya

Demi Tuhan, padi yang berwarna emas
Bisikan tebu, udara berasa kapas
Kini hening, hening, hening, berlarian ditikam malam






Artikel Lain :