Kamis, 11 Juli 2013

kenapa pohon besar di bali dibungkus kain, karena untuk menghormati dan menghargai alam yang telah memberikan kita hidup lewat oksigen yang kita hirup dan karena juga sudah ada yang melinggih disana.

Sejak zaman primitive rupanya manusia sudah memiliki naluri untuk mempertanyakan eksistensi dirinya. Pertanyaan yang terus berkembang hingga mencapai titik yang tak terjawab oleh batas-batas alam nyata, yaitu menyangkut dari mana asal muasal kehidupan ini. Pertanyaan-pertanyaan inilah memunculkan cara pandang transenden, keinginan menjangkau sesuatu realita yang tersembunyi di alam lain, di atas alam kenyataan. Dengan pengakuan atas adanya kekuatan atau eksistensi lain di luar alam nyata ini, kemudian manusia mengembangkan pemahaman-pemahaman baru dalam tata cara mereka memperlakukan alam sekitar. Kepercayaan mengenai sebuah pohon angker di Bali misalnya, dapat dijelaskan sebagai hasrat yang kuat dari manusia yang ingin menyingkap fenomena ciptaan ini. Ada apakah gerangan di balik yang nyata? Itulah prinsip pertanyaan dasarnya. Dari pertanyaan dasar itu berkembanglah kemudian, adakah kekuatan lain di pohon besar ini atau apakah kekuatan lain yang bersemayam di batu besar ini?

Membayangkan adanya keberadaan lain dalam sebuah benda (di matahari, bulan, langit, laut, sungai, pohon-pohon, batu, keris, pancuran, gua dll) adalah pintu bagi manusia purba memahami adanya potensi energi lain dalam setiap keberadaan. Setiap pohon tidaklah sekadar hadir sebagai penyejuk, tapi padanya terkandung suatu getaran tertentu yang bisa ditangkap oleh kepekaan manusia tentang manfaat maupun sifat dari energinya. Bila menjumpai pohon kepuh, maka orang Bali tidak menyebutkan kalau pohon tersebut memiliki energi gaib yang kuat, tetapi dikatakan kalau pohon tersebut dihuni oleh wong samar. Atau pada serumpun pohon bambu di tepi sungai dikatakan dihuni kawanan memedi usil dan pohon asam yang besar dihuni banaspati. Wong samar, memedi dan tonyo adalah nama-nama makhluk halus di Bali atau tergolong bangsa jin. Ini artinya masyarakat Bali mengasosiasikan suatu energi itu ke dalam suatu wujud yang lebih mudah dipahami pikiran, sehingga melahirkan suatu tata cara dalam bersikap dalam berhubungan dengan keberadaan energi-energi alam gaib itu.

Dengan kehadiran atau tepatnya, dengan pikiran manusia menghadirkan makhluk-makhluk gaib itu dalam berbagai pohon, menyebabkan pohon-pohon itu angker dan keramat. Dan yang terpenting adalah, dari keangkeran pohon-pohon itu masyarakat berharap mendapat perlindungan darinya. Bila mohon sesuatu pada sebuah pohon tenget, maka pikirannya kembali dikuatkan, harapannya dipulihkan. Misalnya, dalam suatu kasus ada warga yang mengalami sakit tertentu. Menurut kepercayaan yang berkembang di daerah itu, mungkin keadaan itu dipicu karena yang bersangkutan jarang membawa “buah tangan” ke penghuni pohon tersebut. Lalu diadakanlah permakluman, keluarga si sakit datang ke pohon itu sambil mempersembahkan sesajen dan permen.

Dengan prosesi itu, pikiran anggota keluarga pasien menjadi tenang, setidaknya ia tidak lagi terganggu oleh kepercayaan yang telah ia anut dalam pikirannya tentang kekeramatan pohon itu. Ini menjelaskan bagaimana tingkat permainan mental kita dalam setiap merespon fenomena alam di sekitar kita, sehingga sistem keyakinan (tentang sesuatu yang gaib) bisa juga berarti cara-cara pikiran memperkuat dirinya. Boleh jadi kepercayaan diri itulah sesungguhnya yang menguatkan seseorang, tetapi kepercayaan diri itu tidak bisa tumbuh sendiri tanpa bantuan sugesti-sugesti relegi dari luar.

Selain pohon kepuh, beringin, pule, bunut, juga ada pohon berumur pendek yang dikeramatkan. Dengan alasan digemari leak, orang-orang Bali mencabuti pohon pepaya renteng bila tumbuh dekat-dekat rumahnya. Pepaya renteng adalah jenis pepaya dengan bunga bertangkai panjang dan kalau di daerah Maluku bunga jenis pepaya ini biasa dimasak sebagai sayuran yang enak. Jadi di Maluku pepaya ini sengaja dipelihara untuk dipetik bunganya, sementara di Bali pohon ini tak akan diijinkan tumbuh besar. Bila terlanjur besar, maka dikhawatirkan siluman leak suka bersandar di batang pepaya itu pada malam buta untuk mengisap aura magis pohon itu. Demikianlah mitos yang berkembang, karenanya nasib pohon gedang renteng di Bali menjadi tanaman yang punah atau dipunahkan.

Masih beruntung daun beringin dibutuhkan sebagai perlengkapan upacara, sehingga pohon ini lumayan masih lestari. Berbeda dengan kepuh, jika ia tidak tumbuh di tebing yang sulit dijangkau atau di hutan tak bertuan, niscaya pohon ini pun terancam punah. Adakah orang Bali membiarkan tegalannya ditumbuhi pohon kepuh? Barangkali pohon-pohon kepuh yang terlanjur besar itu karena dulunya tidak sempat diketahui oleh yang empunya tanah atau tumbuh di lokasi sulit dijangkau, sehingga bisa tumbuh sampai besar. Bila tidak, tentulah pohon calon “rumah wong samar” ini akan dibabat sejak pohon itu masih pendek.






Artikel Lain :