Lima kali pergantian presiden nampaknya belum mampu mengantarkan Indonesia keluar dari lilitan utang. Bukannya membawa Indonesia keluar dari utang, masing-masing presiden justru melanjutkan tongkat estafet warisan utang untuk presiden selanjutnya. Indonesia pun semakin terperangkap dalam kebiasaan utang.
Jangan heran jika Indonesia seakan sulit melepaskan diri dari jerat utang. Sebab, kebiasaan berutang sudah dimulai sejak republik ini masih seumur jagung. Pun demikian dengan budaya mewarisi utang yang sudah dimulai sejak Indonesia baru berusia 4 tahun.
Ketua Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan menuturkan, Indonesia sudah diwarisi utang oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1949. Warisan utang dari pemerintah Hindia Belanda itu adalah salah satu kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
"Sebagai syarat kemerdekaan. Penyerahan kedaulatan disertai pengalihan utang dari pemerintahan Hindia Belanda," kata Dani kepada merdeka.com, Senin (8/7) malam.
Presiden Soekarno sempat tak setuju dan membatalkan warisan utang yang menjadi beban bagi Indonesia. Utang dari pemerintah Hindia Belanda pun tak seluruhnya dibayar. Tapi bukan berarti Soekarno anti terhadap utang. Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno juga pernah berutang ke negara lain.
"Utamanya ke negara-negara blok timur, Uni Soviet dan sekutunya. Ada bantuan (utang) dari AS, tapi jumlahnya tidak lebih besar dari utang yang diperoleh dari Uni Soviet dan sekutunya," jelasnya.
Soekarno pun melanjutkan tradisi pengalihan utang ke pemerintahan Soeharto. Bung Karno mewarisi utang sekitar USD 2,3 miliar (di luar utang Hindia Belanda USD 4 miliar).
Saat dilantik sebagai presiden, Soeharto sudah menanggung beban utang dari Soekarno. Tapi, bukannya melunasi utang sebelumnya, Soeharto yang berkuasa selama lebih dari 32 tahun justru semakin rajin melakukan pinjaman baru.
Bedanya, Soeharto tidak memilih utang dari negara blok timur, tapi cenderung ke blok barat dan lembaga asing semisal Bank Dunia dan IMF. Warisan utang dari Hindia Belanda yang sempat dibatalkan oleh Soekarno, justru di re-schedule ulang oleh Soeharto pada 1964. Selain mereschedule ulang, Soeharto juga mendapat komitmen pinjaman baru. Utang di era Soeharto, kata dia, diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi. Mulai dari bangun infrastruktur, bangun pabrik, industri, dan lain-lain.
"Tapi yang tidak dilupakan adalah utang di era Soeharto banyak disebut utang haram karena tidak bisa dipertanggungjawabkan. Karena dikorupsi," jelasnya. Data yang ada menyebutkan, rezim orde baru berutang sebesar Rp1.500 triliun yang jika dirata-ratakan selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, utang negara bertambah sekitar Rp 46,88 triliun tiap tahun.
Saat dilengserkan pada 1998, Soeharto pun melanjutkan tradisi mewarisi utang ke Presiden Habibie. Utang luar negeri mencapai USD 53 miliar ditambah utang BLBI yang dimasukkan sebagai utang dalam negeri. Totalnya, Soeharto mewarisi utang sekitar USD 171 miliar.
Proses akumulasi utang pun terus berlanjut di era Presiden Habibie. Bahkan, Habibie tercatat sebagai presiden yang membuat utang Indonesia makin besar hanya dalam waktu singkat. Pada masa kepemimpinannya yang hanya seusia jagung, kata Dani, Habibie mengakumulasi tambahan utang luar negeri hingga USD 20 miliar. Warisan utang dari Habibie sekitar USD 178 miliar.
Zaman reformasi tidak berarti Indonesia lepas dari jerat utang. Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, sempat menurunkan utang luar negeri pemerintah sekitar USD 21,1 miliar. Dari USD 178 miliar menjadi USD 157 miliar. Namun, utang pemerintah secara keseluruhan meningkat. Sebelum lengser, Gus Dur mewarisi utang sebesar Rp 1.273,18 triliun ke pemerintahan Megawati.
Pun demikian di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri yang duduk menjadi orang nomor satu di republik ini setelah Gus Dur lengser. Di masa Megawati berkuasa, terjadi penurunan jumlah utang melalui penjualan aset-aset negara. Pada 2001 utang Indonesia sebesar Rp 1.273,18 triliun turun menjadi Rp 1.225,15 triliun pada 2002.
Sayangnya, di tahun-tahun berikutnya utang Indonesia terus meningkat. Pada 2004, total utang Indonesia menjadi Rp 1.299,5 triliun. "Sebetulnya pada masa Gus Dur dan Megawati tambahan utang baru terbilang sedikit, tidak terlalu besar," jelasnya.
Budaya warisan utang berlanjut ke era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Setelah mendapat warisan utang sebesar RP 1.299 triliun, utang Indonesia justru semakin membengkak menjadi Rp 1.700 triliun di 2009 atau lima tahun pertama masa kepemimpinan SBY.
Catatan positif pada masa kepemimpinan SBY, Indonesia melunasi utang-utangnya pada dana moneter internasional atau International Monetary Fund (IMF) yang telah menjerat sejak 1997. Pada Oktober 2006, sisa utang pada IMF sebesar USD 3,7 miliar yang harusnya jatuh tempo pada 2010 telah diselesaikan oleh BI. Sebelumnya, pada Juni 2006, BI juga membayar utang ke IMF sebesar Rp 3,7 miliar. Jadi, dalam waktu satu tahun anggaran, sisa utang ke IMF sebesar Rp 7,4 miliar telah dilunasi.
Data terbaru, menjelang berakhirnya masa kepemimpinan SBY di 2014, utang Indonesia semakin menggunung. Per April 2013, utang pemerintah sudah menembus Rp 2.023 triliun. "Harus diakui, di era SBY memang terjadi akumulasi utang yang besar dibanding presiden-presiden sebelumnya," katanya.
Dari pemaparan tersebut, kata dia, tergambar bahwa warisan utang secara turun temurun sudah dilakukan sejak dulu. "Setiap presiden pasti mewariskan utang ke presiden selanjutnya," ucapnya.
Jika sekarang utang Indonesia sudah lebih dari Rp 2.023 triliun, berapa utang yang akan diwariskan SBY saat lengser tahun depan? "Bisa lebih besar dari sekarang," singkatnya.
sumber : Merdeka.com